Rabu, 21 Maret 2012

Sekilas Tentang Jurusan Hukum Pidana Islam

Jurusan Hukum Pidana Islam

Visi Jurusan

Menjadi pusat pengembangan sumber daya manusia yang memiliki integritas, kualitas dan kompetensi, keahlian serta keterampilan yang dilandasi oleh keyakinan dan ahlak islami, sehingga siap menjadi unsur perubah, penggerak dan pelaksana nilai-nilai yang professional dengan bekal kompetensi dan keterampilan dalam bidang Hukum Pidana Islam.

»»  Baca Selangkapnya..

Contoh Surat Hukum

  1. Class Action
  2. Permohonan Cerai
  3. Gugat Utang
  4. Putusan Pengadilan Agama
  5. Pembatalan perkawinan
  6. Surat Keputusan Panjar PA Bandung
*Password download : hpi
*Dilarang copy link download ke website/blog lain

Silahkan download, semoga bermanfaat.  

»»  Baca Selangkapnya..

Selasa, 20 Maret 2012

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PERADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PERADILAN AGAMA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok MK Hukum Acara Peradilan Agama



Disusun oleh Kelompok 9:
Cici Santini
Kamaludin
Ririn Rachmawati

SEMESTER 5
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN BANDUNG
2011




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam persidangan pastilah ada yang bersengketa dan menginginkan keadilan bagi dirinya, apabila salah satu pihak yang berperkara di muka pengadilan Agama merasa tidak puas atas keputusan Pengadilan Agama, yang bersangkutan atau kuasa sahnya dapat menempuh upaya hukum menurut cara-cara yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan. Upaya hukum itu mungkin “verzet”, mungkin “banding”, mungkin “kasasi” atau mungkin pula “peninjauan kembali atas putusan yang telah memperoleh kekuatan kukum yang tetap”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu upaya hukum?
2. Pembahasan mengenai apa saja upaya hukum?
3. Surat upaya-upaya hukum.

C. Tujuan
Penulis lebih mengetahui mengenai upaya hukum dan jenis jenisnya.
Memaparkan kepada audiens tatacara berupaya hukum.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Macam-macam Upaya Hukum
Pengertian Upaya Hukum
Upaya Hukum yaitu suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jenis-jenis Upaya Hukum
1. Upaya Hukum melawan gugatan :
• Eksepsi,
• Rekonvensi (gugat balik),
• Minta vrijwaring.
2. Upaya Hukum melawan putusan :
a. Upaya hukum biasa:
• Verzet
• Banding
• Kasasi
b. Upaya hukum luar biasa :
• Rekes Sipil (peninjauan kembali)
• Derden verzet
3. Upaya Hukum melawan sita :
a. Verzet yang bersangkutan
b. Verzet pihak ketiga
4. Upaya Hukum melawan eksekusi :
a. Verzet yang bersangkutan
b. Verzet pihak ketiga
5. Upaya Hukum untuk mencampuri proses :
a. Intervensi (mencampuri)
b. Voeging (turut serta pada salah satu pihak)
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)
6. Upaya Hukum pembuktian :
a. Saksi
b. Tulisan
c. Dugaan/persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah, dan sebagainya.
Namun karena bahasan telah dibahas di diskusi sebelumnya, maka kami hanya akan membahas mengenani banding, kasasi dan peninjauan kembali.
B. Upaya Hukum Banding
1. Pengertian Banding
Banding ialah permintaan atau permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang kembali oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama.
Memeriksa kembali secara keseluruhan perkara yang bersangkutan. Penetapan atau putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama, diteliti dan diperiksa kembali oleh Pengadilan Tinggi Agama mulai dari awal pemeriksaan sampai dijatuhkan. Tidak ubahnya seolah-olah pengadilan tingkat banding, mengambil alih kedudukan dan kewenangan peradilan tingkat pertama.
2. Syarat-syarat Banding
• Syarat-syarat Banding adalah :
a. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
b. Diajukan masih dalam masa tenggang waktu banding
c. Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding
d. Membayar panjar biaya banding kecuali dalam hal prodeo, biaya banding dibebankan kepada pemohon banding.
e. Menghadapi di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.
• Masa tenggang waktu pengajuan banding di tetapkan sebagai berikut :
a. Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
b. Bagi pihak yang bertempat kediaman di luar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan bending tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (pasal 7 UU No. 20/1947).
c. Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dihitung mulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tentang ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 UU No. 20/1947).
• Permohonan banding tidak dapat diterima jika tenggang waktu tersebut telah habis.
• Yang berhak mengajukan banding:
a. Pihak yang berperkara in person, atau
b. Kuasanya.
• Bentuk permintaan banding:
a. Dengan lisan
b. Dengan tulian
3. Tatacara Banding
a. Pada tingakat Pengadilan Agama
• Calon pembanding atau kuasanya yang akan mengajukan banding datang di Pengadilan Agama yang memutus perkaranya itu.
• Apabila pada saat berperkara pada tingkat pertama dalam surat kuasa khusus telah menyebutkan pula memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya untuk mengajukan banding maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus untuk mengajukan banding.
• Permohonan banding harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh calon pembanding atau kuasanya.
• Calon pembanding menghadapi di Kepaniteraan Gugatan pada Petugas Meja Pertamayang akan menaksir baesarnya panjar biaya banding dan menuangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) rangkap tiga.
• Calon pembanding membayar panjar biaya banding pada Kasir, dan Kasir kemudian menandatangani SKUM dan membukukan uang panjar tersebut pada Jurnal untuk perkara banding (KI-PA2).
• Pembanding kemudian menghadapi pada Panitera Pengadilan Agama atau pejabat yang ditunjuk untuk dibuatkan Akta Permohonan Banding.
• Pembanding kemudian menghadapi pada Petugas Meja II dan kemudian Meja II harus mendaftar permohonan banding tersebut pada :
• Register Induk Perkara Gugatan yang bersangkutan
• Register Permohonan Banding
• Kemudian memberikan tanda terdaftar di Register Permohonan Banding (Nomor urut dan tanggalnya) pada Akta Permohonan Banding dan salinannya, sebagai berikut :
Nomor urut :
Tanggal :
Paraf :
• Petugas Meja II kemudian menyerahkan satu helai salinan Akta Permohonan Banding yang telah diberi tanda terdaftar tersebut dan helai pertama SKUM kepada pembanding. Dan dengan demikian maka pendaftaran banding pada tingkat Pengadilan Agama telah selesai.
• Petugas Meja II kemudian mengatur berkas perkara banding tersebut dan menyerahkannya kepada petugas Meja II untuk diproses dan dicatat pada putusan asli.
• Petugas Meja III selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari harus memberitahukan adanya banding tersebut kepada pihak lawan. Pemberitahuan banding dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti (PBT. B.1).
• Pembanding menyerahkan memori banding kepada Petugas Meja III dengan mendapat tanda terima.
• Petugas Meja III wajib memberitahukan memori banding tersebut melalui Jurusita/Jurusita Pengganti kepada terbanding (PBT. B.2).
• Pihak terbanding dapat memasukkan kontra memori banding, kepada Petugas Meja III dengan mendapat tanda terima.
• Petugas Meja III wajib dengan segera memberitahukan kontra memori banding itu melalui Jurusita/Jurusita Pengganti kepada pembanding (PBT. B.3).
• Petugas Meja III memberitahukan kepada pembanding dan terbanding bahwa dalam waktu 14 hari yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama dapat melihat, mempelajari dan meneliti (inzage) berkas perkara banding tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan sebelum dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
• Petugas Meja III wajib dengan segera menyelesaikan minutasi berkas banding tersebut dalam Bendel B. sebelum para pihak melakukan inzage.
• Berkas Bendel B (yang kelak menjadi Arsip Pengadilan Tinggi Agama) tersebut terdiri dari :
a. Salinan Putusan/Penetapan PA
b. Akta Permohonan Banding
c. Akta Pemberitahuan Banding
d. Memori Banding
e. Akta Pemberitahuan Memori Banding
f. Kontra Memori Banding
g. Akta Pemberitahuan Kontra Memori Banding
h. Akta Pemberitahuan Inzage (memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk melihat, membaca, dan memeriksa berkas perkara)
i. Surat Kuasa Khusus (kalau ada)
j. Tanda Bukti ongkos perkara banding (SKUM)
k. Surat Keterangan bahwa para pihak pada waktu yang telah ditetapkan telah melakukan inzage atau tidak melakukan inzage
• Apabila berkas Bendel B tersebut telah lengkap maka segera dijahit dan disegel untuk kemudian bersama-sama Bendel A dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Agama disertai biaya bandingnya.
b. Pada tingkat Pengadilan Tinggi Agama
• Berkas perkara banding yang terdiri Bendel A dan Bendel B diterima di Kepaniteraan Banding bersama biaya bandingnya diterima oleh Meja Pertama.
• Meja I akan meneliti apakah sudah terlampir bukti pengiriman biaya perkara.
• Apabila belum terlampir maka Pengadilan Agama diminta segera untuk mengirimkannya.
• Jika berkas banding dan biayanya telah lengkap maka diserahkan kepada kasir.
• Kasir mencatat biaya banding tersebut pada jurnal biaya banding dan memberikan Nomor Perkara Banding sebagai berikut :
No. : …………………../Pdt.G/1995/PTA…………………...
Tgl. :
Sesuai dengan nomor urut dalam jurnal.
• Berkas yang diberi nomor tersebut kemudian diserahkan ke Meja II untuk didaftar dalam Register.
• Dalam permohonan Banding secara prodeo maka berkas perkaranya oleh Meja I langsung diserahkan kepada Meja II tanpa melalui kasir untuk kemudian diperiksa oleh Ketua Majelis/Hakim PTA tentang boleh tidaknya berperkara secara prodeo.
• Apabila telah ada ijin berperkara secara prodeo maka perkara baru didaftar/dicatat dalam jurnal dan diberi nomor oleh Kasir serta kemudian didaftar dalam Register oleh Meja II.
• Perkara banding yang sudah didaftar segera diberitahuakan dengan surat oleh Panitera PTA kepada para pihak dan Pengadilan Agama yang bersangkutan dengan menyebutkan nomor dan tanggal perkara pada tingkat banding.
• Meja II meneliti kembali kelengkapan berkas Bendel A dan Bendel B dicocokkan dengan daftar isinya dan apabila terdapat kekurangan maka diminta supaya Pengadilan Agama yang bersangkutan segera melengkapinya.
• Apabila telah lengkap maka berkas perkara tersebut oleh Wakil Panitera diserahkan kepada Ketua PTA melalui Panitera disertai formulir yang diperlukan untuk ditetapkan Majelis Hakimnya (dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim) yang akan memeriksa dan memutusnya (pasal 15 ayat 1 UU No. 20/1947).
• Oleh Panitera kemudian ditunjuk Panitera/Panitera Pengganti yang akan membantu Majelis tersebut sebagai Panitera Sidang.
• Majelis Hakim dibantu oleh Panitera Sidang untuk memeriksa perkara tersebut dalam persidangan.
• Apabila dipandang perlu untuk melengkapi pemeriksaan maka majelis dapat menambah pemeriksaan sendiri dengan menghadirkan para pihak ke persidangan di Pengadilan Tinggi Agama tersebut, atau memerintahkan kepada Pengadilan Agama untuk menambah pemeriksaan yang diperlukan itu. (pasal 15 ayat 1 UU No. 20/1947)
• Hal tersebut dituangkan dalam “Putusan Sela”.
• Apabila majelis Hakim berkehendak untuk mendengar sendiri para pihak dan atau juga saksi-saksinya maka Majelis dalam putusan sela memerintahkan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan agar supaya para pihak dan atau juga saksi-saksinya diperintahkan untuk menghadapi di persidangan Pengadilan Tinggi Agama tersebut pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan itu.
• Pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama memeriksa para pihak dan atau juga saksi-saksinya yang dilakukan seperti tatacara pemeriksaan pada tingkat pertama.
• Dalam hal Majelis berkehendak supaya pemeriksaan tambahan itu dilakukan oleh Pengadilan Agama maka Majelis dalam hal putusan sela memerintahkan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan agar membuka sidang lagi untuk memeriksa para pihak dan atau juga saksi-saksinya, segala hal yang dianggap perlu oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama.
• Berdasarkan putusan sela tersebut, Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis Hakim untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan tersebut.
• Majelis Hakim yang ditunjuk tersebut kemudian menetapkan hari dan tanggal persidangan dengan PHS dan memerintahkan supaya para pihak dipanggil menghadapi didepan sidang pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan itu.
• Pada hari dan tanggal tersebut Majelis melakukan pemeriksaan tambahan dimaksud dan jika dianggap belum cukup maka sidang dapat diundurkan sehingga pemeriksaan dianggap cukup.
• Dan pemeriksaan tersebut harus pula dibuatkan Berita Acara Persidangan.
• Segala surat-surat dan Berita Acara Persidangan tambahan tersebut setelah diminutasi dan dijahit/disegel sebagai Bendel A. Tambahan kemudian dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
• Selama dalam proses pemeriksaan pada tingkat banding ini para pihak dapat memasukkan surat-surat tambahan baik melalui Pengadilan Agama setempat atau langsung ke Pengadilan Tinggi Agama yang memeriksanya itu.
• Segala surat-surat tambahan tadi harus pula diberitahukan kepada pihak lawan oleh Jurusita Pengadilan Agama yang bersangkutan menurut cara-cara yang berlaku dalam hukum acara.
• Permohonan banding dapat diterima jika syarat-syarat banding terpenuhi.
• Petusan Pengadilan Tinggi Agama dapat berupa :
a. Tidak menerima permohonan banding pembanding
b. Menguatkan putusan PA
c. Memperbaiki putusan PA
d. Membatalkan putusan PA
• Apabila PTA sependapat dengan PA maka ia akan menguatkan PA.
• Apabila PTA berpendapat bahwa putusan PA tersebut perlu diperbaiki maka ia akan memperbaiki amar putusan PA.
• Apabila PTA berpendapat bahwa putusan PA tersebut perlu diperbaiki maka ia akan memperbaiki amar putusan PA.
• Apabila PTA berpendapat lain dan menganggap bahwa putusan PA tersebut tidak benar maka ia akan membatalkan putusan PA/
• Dalam hal PTA membatalkan putusan PA maka PTA harus mengadili sendiri pokok perkara tersebut menurut keyakinannya.
• Dalam hal PA memutuskan bahwa ia tidak berhak memeriksa perkaranya dan PTA berpendapat lain, maka PTA dalam putusannya dapat :
a. Menyuruh PA untuk memutuskan perkaranya, atau
b. PTA memutuskan semdiri perkara itu.
• Salinan putusan PTA tersebut segera dikirim ke PA yang bersangkutan beserta Berkas Bendel A.
c. Kembali ke tingkat Pengadilan Agama
• Pengadilan Agama setelah menerima salinan putusan PTA tersebut segera memberitahukan kepada para pihak.
• Petugas Meja III dengan PBT. B.4 dan PBT. B.5 memerintahkan kepada Jurusita/Jurusita Pengganti untuk memberitahukan putusan tersebut kepada para pihak.
• Jurusita/Jurusita Pengganti menjalankan tugas tersebut dengan membuat relaas yang kemudian diserahkan kepada Meja III.
• Tanggal penerimaan kembali berkas banding, tanggal dan nomor serta amar lengkap putusan banding dari PTA dan tanggal pemberitahuan putusan banding kepada para pihak, oleh Meja III diberitahukan kepada Meja II untuk dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan dan Register Permohonan Banding.
d. Permohonan Banding secara prodeo
• Setelah putusan PA diberitahukan kepada yang bersangkutan maka calon pembanding mengajukan permohonan banding secara prodeo pada masa banding tersebut.
• Permohonan diajukan secara tertulis, dan bagi yang masih buta huruf dapat dibantu oleh Ketua atau Hakim yang ditunjuk untuk menuliskan permohonan itu (pasal 120 HIR).
• Ketua atau Hakim yang ditunjuk dengan dibantu oleh Panitera sidang memeriksa permohonan tersebut dan dibuat Berita Acara Pemeriksaan.
• Pemeriksaan dilakukan seperti permohonan prodeo pada tingkat pertama hanya saja tidak mengambil keputusan sendiri.
• Berita Acara Persidangan tersebut bersama Bendel A dikirim ke PTA.
• Ketua PTA atau Hakim yang ditunjuk kemudian memeriksa permohonan tersebut dan menetapkan apakah Pemohon Banding diijinkan untuk mengajukan banding secara prodeo atau menolak permohonan prodeo tersebut.
• Penetapan itu segera dikirim ke PA yang bersangkutan untuk diberitahukan kepada para pihak.
• Apabila PTA memberikan ijin berperkara secara prodeo maka calon pembanding dalam tenggang waktu 14 hari sejak penetapan itu diberitahukan menghadapi di Kepaniteraan PA untuk menyatakan banding dan oleh Panitera dibuatkan Akta Permohonan Banding.
• Selanjutnya permohonan banding diproses secara prodeo.
• Apabila PTA menolak permohonan banding secara prodeo maka calon pembanding dalam tenggang waktu 14 hari sejak penetapan itu diberitahukan kepada yang bersangkutan menghadapi di Kepaniteraan untuk membayar panjar biaya banding.
• Setelah panjar biaya banding tersebut dibayar kemudian dibuatkan Akta Permohonan Banding.
• Selanjutnya permohonan banding diproses seperti biasa.
• Apabila dalam waktu 14 hari tersebut calon pembanding tidak menghadapi di Kepaniteraan maka permohonan banding dianggap tidak dilanjutkan (tidak ada banding).
• Pada Bendel B harus dilampirkan pula tanda bukti pengiriman biaya banding atau Penetapan ijin berperkara banding secara prodeo.
• Berkas Bendel A (kalau masih ada di PA) dan Bendel B kemudian dikirim ke PTA untuk diperiksa pada tingkat banding.
4. Mencabut Permohonan Banding
• Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.
• Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka :
a. Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan.
b. Kemudian oleh Panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Banding.
c. Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding berakhir.
d. Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada PTA.
• Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka :
a. Pencabutan banding disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke PTA.
b. Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA maka pencabutan itu segera dikirim ke PTA.
c. Apabila permohonan banding belum diputus maka PTA akan mengeluatkan “Penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding.
d. Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
e. Apabila permohonan banding dicabut maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “Penetapan” tersebut.
• Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan.


5. Pemeriksaan Tingkat Banding
Secara garis besar, pemeriksaan tingkat banding dengan tingkat pertama terdapat perbedaan. Perbedaan utama terletak pada tata cara pelaksanaan. Proses pemeriksaan pada tingkat pertama pertama bersifat hubungan langsung atau leven contact (life contact) antara hakim dengan pihak-pihak yang berperkara dan saksi-saksi.
Lain halnya dengan pemeriksaan pada tingkat banding. Sesuai dengan ketentuan Pasal II Lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, periksaan perkara:
a. Dilakukan berdasarkan berkas perkara.
Pada tingkat banding, pemeriksaan tidak bersifat hubungan langsung antara hakim dengan saksi-saksi, dilakukan dengan berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama.
b. Apabila dianggap perlu, dapat melakukan “pemeriksan tambahan”
Apabila pengadilan Tinggi berpendapat ada hal-hal yang memerlukan kejelasan atau untuk menambah kesempurnaan pembuktian, pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi ahli dan sebagainya, pengadilan tinggi dapat memerintahkan pemeriksaan tambahan. Melalui proses:
1) Pemeriksaan tambahan berdasarka “putusan ela”
2) Pemeriksaan tambahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pengadilan Tinggi.
3) Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama.
c. Pemeriksaan tingkat banding dilakukan dengan majelis
Demikian penegasan yang disebut dalam Pasal II ayat (1) Lembaran negara No. 36 Tahun 1955. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970. Pada umumnya ketentuan ini telah dilaksanakan, kecuali di pengadilan Tinggi yang masih belum cukup tenaga hakimnya.

C. Upaya Hukum Kasasi
1. Pengertian Kasasi
• Kasasi artinya pembatalan putusan oleh MA.
• Pengadilan kasasi adalah pengadilan yang memeriksa apakah judex factie tidak salah dalam melaksanakan peradilan.
• Upaya hukum kasasi ialah upaya agar putusan judex factie dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
• Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada MA (pasal 10 ayat 3 UU No. 14/1970).
• Atas penetapan dan putusan PTA dapat dimintakan kasasi kepada MA oleh pihak yang berperkara (pasal 63 UU No. 7/1989).
• Hukum acara kasasi di lingkungan Peradilan Agama diatur oleh UU No. 14/1985 tentang MA (pasal 55 ayat 1 UU No. 14/1985).
• Pihak yang tidak puas dengan putusan atau penetapan PTA atau penetapan PA dapat mengajukan kasasi ke MA, dengan memenuhi syarat-syarat kasasi.
• Selain itu kasasi juga dapat dimintakan demi kepentingan hukum.
2. Syarat-syarat Kasasi
• Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah :
a. Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi
b. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi
c. Putusan atau penetapan judex factie menurut hukum dapat dimintakan kasasi
d. Membuat memori kasasi
e. Membayar panjar biaya kasasi
f. Menghadapi di Kepaniteraan PA yang bersangkutan
• Permohonan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (pasal 44 ayat 1 UU No. 14/1985).
• Apabila dalam surat kuasa khusus telah disebutkan bahwa wakil tersebut telah pula diberi kuasa untuk mengajukan kasasi maka tidak diperlukan lagi surat kuasa baru.
• Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat 1 UU No. 14/1985).
• Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara maka dianggap telah menerima putusan (pasal 46 ayat 2 UU No. 14/1985).
• Putusan atau penetapan yang dapat dimintakan kasasi ialah putusan atau penetapan akhir yang diberikan pada tingkat terakhir dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, yaitu :
• Putusan atau penetapan PTA, dan
• Penetapan PA dalam perkara voluntair yang menurut hukum tidak boleh dimintakan banding.
• Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
• Permohonana kasasi hanya dapat diajukan 1 kali (Pasal 43 UU No. 14/1985).
• Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985).
 Hal ini berbeda dengan permohonan banding dimana pemohon banding tidak wajib membuat memori banding. Memori kasai merupakan syarat mutlak untuk dapat diterimanya permohonan kasasi.
• Pemohon kasasi wajib membayar biaya kasasi (Pasal 47).
• Pemohon kasasi harus hadir di Kepaniteraan PA yang bersangkutan untuk menyatakan kasasi dan dibuatkan Akta Permohonan Kasasi.
• Apabila ada pemohon kasasi yang mengajukan kasasi dengan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut diatas atau tanpa ada alasan atau alasan-alasan kasasi yang ditetapkan menurut UU, Panitera wajib melayani sebagaimana mestinya.
• Yang berwenang menilai apakah syarat-syarat kasasi telah dipenuhi atau tidak adalah MA dalam putusan kasasi.
• Permohonan kasasi yang diajukan setelah lewat tenggang waktu kasasi tetap harus dilayani, tetapi hal ini tidak menghalangi pelaksanaan putusan karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Demikian pula dalam hal kasasi diajukan oleh bukan pihak-pihak yang berperkara dan bukan pula kuasa hukumnya, tidak menghalangi dilaksanakannya putusan jika telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
• Demikian pula dalam hal kasasi diajukan oleh bukan pihak-pihak yang berperkara dan bukan pula kuasa hukumnya, tidak menghalangi dilaksanakannya putusan jika telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Alasan-alasan Kasasi
• MA memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan (Pasal 29 UU No. 14/1985).
• MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan Peradilan karena :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 UU No. 14/1985).
• Apabila terhadap suatu penetapan PA yang menurut hukum ttidak dapat dimintakan banding maka dapat dimintakan kasasi ke MA dengan alasan atau alasan-alasan tersebut diatas.
• Apabila terhadap suatu putusan atau penetapan PA telah dimintakan banding kepada PTA maka yang dimintakan kasasi adalah putusan atau penetapan PTA tersebut, karena dengan adanya banding tersebut berarti putusan atau penetapan PA telah masuk atau diambil alih oleh PTA.
4. Tatacara Kasasi
a. Pada tingkat PA
• Pemohon kasasi menyatakan kehendaknya di Kepaniteraan PA yang bersangkutan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu selambat-lambatnya 14 hari sejak setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan.
• Pemohon kasasi menghadapi di Meja 1 yang akan memberikan penjelasan dan mentaksir panjar biaya kasasi, yang kemudian dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
• Pemohon kasasi menghadapi pula Kasir dan membayar panjar biaya kasasi sejumlah sesuai yang tercantum dalam SKUM.
• Kasir kemudian menandatangani SKUM dan memberi tanda lunas serta mencatatnya dalam Jurnal Permohonan Kasasi.
• Setelah biaya kasasi tersebut dibayar Panitera pada hari itu juga membuat Akta Permohonan Kasasi.
• Permohonan kasasi tersebut oleh Meja II dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan dalam REGISTER Permohonan Kasasi.
• Setelah permohonan kasasi tersebut didaftar dan pada Akta Permohonan Kasasi telah diberi tanda terdaftar oleh Meja II maka kepada Pemohon Kasasi diserahkan helai pertama SKUM dan satu salinan Akta Permohonan Kasasi yang telah didaftar tersebut.
• Kemudian oleh Meja II berkas kasasi (Akta Permohonan Kasasi dan SKUM) tersebut diserahkan kepada Meja III yang akan melaksanakan penyelesaian administrasi permohonan kasasi itu.
• Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari, Panitera (dalam hal ini dilakukan oleh Meja III) wajib memberitahukan lewat Jurusita/Jurusita Pengganti kepada pihak lawan tentang adanya permohonan kasasi tersebut dengan menyerahkan salinan Akta Permohonan Kasasi (Pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985).
• Selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi tersebut dicatat atau didaftar di Kepeniteraan PA setempat maka Pemohon Kasasi wajib menyampailan pula Memori Kasasi yang memuat alasan-alasannya (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah habis dan Pemohon Kasasi tidak menyerahkan memori kasasi maka Panitera membuat Surat Keterangan bahwa Pemohon Kasasi tidak mengajukan memori kasasi.
• Meja III wajib memberikan tanda terima penyerahan memori kasasi tersebut.
• Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari setelah memori kasasi diserahkan maka Meja III wajib memberitahukan hal itu kepada pihak lawan melalui Jurusita/Jurusita Pengganti dengan menyerahkan pula salinan memori kasasi tersebut (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Pihak lawan berhak mengajukan jawaban (kontra memori kasasi) terhadap memori kasasi tersebut kepada Panitera (dalam hal ini Meja III) selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya memori kasasi (Pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985).
• Meja III segera memberitahukan pula kepada Pemohon Kasasi tentang adanya kontra memori kasasi itu melalui Jurusita/Jurusita Pengganti dengan menyerahkan salinan kontra memori kasasi.
• Tanggal pemberitahuan kasasi (PBT. C. 1), pemberitahuan memori kasasi (PBT. S. 2) dan pemberitahuan kontra memori kasasi (PBT. C. 3) serta tanggal penerimaan memori dan kontra memori kasasi dicatat dalam Register Permohonan Kasasi.
• Meja III memberitahukan kepada para pihak (Pemohon dan Termohon Kasasi) bahwa mereka dalam waktu yang ditetapkan selama 14 hari dapat melihat, membaca dan mempelajari berkas perkara kasasi tersebut di Kepaniteraan PA (Inzage).
• Meja III segera meminutasi dan menjahit berkas kasasi tersebut dan disegel Bendel B (yang kelak menjadi arsip di MA), sebelum hari inzage tiba.
• Berkas Bendel B tersebut terdiri dari :
1) Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan banding kepada kedua belah pihak.
2) Akta permohonan kasasi.
3) Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi (bila ada).
4) Memori kasasi (bila ada) atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi.
5) Tanda terima memori kasasi.
6) Relaas pemberitahuan kasasi (Akta permohona kasasi) kepada pihak lawan.
7) Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan.
8) Kontra memori kasasi (bila ada).
9) Relaas pemberitahuan kontra memeori kasasi kepada pihak lawan.
10) Relaas memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk membaca dan memeriksa berkas (Inzage).
11) Salinan resmi Putusan PA.
12) Salinan resmi Putusan PTA.
13) Tanda bukti setoran biaya kasasi yang sah dari Bank.
• Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari sejak diterimanya kontra memori kasasi di Kepaniteraan maka Panitera segera mengirimkan berkas kasasi (Bendel A dan Bendel B) ke MA (Pasal 48 ayat (1)).
• Tanggal pengiriman berkas tersebut dicatat dalam Register Permohonan Kasasi.
• Biaya permohonan kasasi dikirim melalui Bank yang ditunjuk.

b. Pada tingkat MA
• Penitera MA mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya dan melaporkan semua itu kepada Ketua MA (Pasal 48 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Ketua MA menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara kasasi dan dibantu oleh Panitera Sidang.
• MA memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan (Pasal 29 UU No. 14/1985).
• MA memeriksa dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya 3 orang Hakim (Pasal 40 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh MA, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu MA mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutuskan perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi (Pasal 50 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Apabila MA membatalkan Putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama (Pasal 50 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Dalam hal MA mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan alasan tidak berwenang atau melampaui batas berwenang maka MA menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskan (Pasal 51 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Dalam hal MA mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan alasan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan/atau alasan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, maka MA memutuskan sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu (Pasal 51 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Dalam mengambil putusan MA tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain (Pasal 52 UU No. 14/1985).
• Putusan MA diucapkan dalam sidang terbuka untuk umu (Pasal 4 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Salinan Putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutuskan perkara tersebut (Pasal 53 ayat (1) UU No. 14/1985).
c. Kembali ke tingkat PA
• Putusan MA diterima oleh PA pada Meja III.
• Meja III selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan dan berkas perkara itu diterima, memberitahukan kepada kedua belah pihak melalui Jurusita Pengganti (Pasal 53 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Pemberitahuan putusan tersebut (PBT. C. 4 dan PBT. C. 5) dicatat dalam Register Permohonan Banding dan Register induk Perkara yang bersangkutan.
• Putusan MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhitung sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
• Permohonan kasasi dapat dilakukan hanya 1 kali, dan oleh sebab itu dapat diajukan lagi permohonan kasasi untuk yang kedua kali dan seterusnya (Pasal 45 ayat (2) UU No. 14/1985).
5. Mencabut Permohonan Kasasi (pasal 49 UU No. 14/1985)
• Sebelum permohonan kasasi diputus oleh MA maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh Pemohon tanpa memerlukan persetujuan pihak lawan.
• Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka :
a. Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan.
b. Kemudian oleh Panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.
c. Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau.
d. Dan berkas perkara itu tidak perlu diteruskan ke MA.
• Apabila berkas perkara telah dikirimkan kepada MA, maka :
a. Pencabutan disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke MA.
b. Apabila pencabutan disampaikan melalui PA maka pencabutan itu segera dikirimkan kepada MA.
c. Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka MA akan mengeluarkan “Penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.
d. Apabila permohonan kasasi telah diputus maka pencabutan kembali tidak mungkin dikabulkan.
• Apabila permohonan kasasi dicabut maka tidak boleh diajukan lagi permohonan kasasi baru.
• Apabila permohonan kasasi telah dicabut kembali maka putusan yang dimintakan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tertap terhitung sejak tanggal dibuatkan Akta Pencabutan Kasasi atau dikeluarkannya “Penetapan” pencabutan kasasi.
6. Kasasi demi kepentingan hukum (pasal 45 UU No. 14/1985)
• Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan olej Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding disemua lingkungan Peradilan.
• Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan hanya 1 kali.
• Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara, Artinya ialah :
a. Tidak menunda pelaksanaan putusan, dan
b. Tidak mengubah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

D. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
1. Pengertian Peninjauan Kembali
• Request civiel atau peninjauan kembali adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh Hakim sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan Hakim akan menjadi lain.
• Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh MA.
• Peninjauan kembali diatur dalam UU No. 14/1985 tentang MA.
• Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan undang-undang terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada MA dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No. 14/1970).
2. Syarat-syarat Permohonan Peninjauan Kembali
• Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali ialah :
a. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
b. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
d. Diajukan dalam tenggang waktu menurut UU.
e. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
f. Menghadap di Kepaniteraan PA yang memutus perkara pada tingkat pertama.
• Yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali ialah :
a. Para pihak yang berperkara.
b. Ahli warisnya (yang dapat membuktikan dengan akta dibawah tangan mengenai keahliwarisan yang dilegalisasi oleh Ketua PA), atau
c. Wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. (Harus ada surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali).
• Apabila selama proses peninjauan kembali Pemohon meninggal dunia permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya (Pasal 68 UU No. 14/1985).
• Putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap maka dapat dilakukan upaya hukum biasa.
• Alasan-alasan untuk diajukan peninjauan kembali ialah :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-syrat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atau dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 67 UU No. 14/1985).
• Permohonan peninjauan kembali harus diajukan dalam masa tenggang waktu yang tepat, yaitu 180 hari untuk alasan tersebut diatas :
a. Yang disebut pada huruf a, sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
b. Yang disebut pada huruf b, sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
c. Yang disebut pada huruf c, d, dan f, sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
d. Yang disebut pada huruf c, sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (Pasal 69 UU No. 14/1985).
3. Tatacara Permohonan Peninjauan Kembali
a. Pada tingkat PA
• Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada MA melalui Ketua PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan (Pasal 70 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Permohonan peninjaun kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu.
• Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 UU No. 14.1985).
• Permohonan dimasukkan di Kepaniteraan PA yang memutus perkara pada tingkat pertama dan dibuatkan tanda terima oleh Meja I setelah membayar biaya perkara.
• Apabila pemohon menguasakan kepada orang lain maka harus ada surat kuasa khusus untuk itu.
• Pemohon menghadapi di Meja I yang akan menaksir biaya perkara dan menuangkannya dalam SKUM.
• Pemohon membayar biaya pada Kasir sejumlah uang yang tertulis dalam SKUM.
• Kasir menerima uang, menandatangani SKUM dan memberi tanda lunas dan cap dinas serta mencatatnya dalam jurnal biaya perkara Peninjauan Kembali.
• Meja II mencatat permohonan tersebut pada Register Induk Perkara yang bersangkutan dan pada Register Permohonan Peninjauan Kembali dan memberi tanda terdaftar pada salinan akata peninjauan kembali.
• Meja II menyerahkan kepada pemohon salinan akta yang telah diberi tanda terdaftar dan helai pertama SKUM.
• Meja II kemudian menyerahkan berkas tersebut kepada Meja III.
• Meja III atas nama panitera selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permohonan itu didaftar wajib memberitahukan kepada pihak lawan, melaluai Jurusita/Jurusita Pengganti dengan menyerahkan salinan permohonan peninjauan kembali, dengan maksud :
a) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan adanya kebohongan atau tipu muslihat atau bukti-bukti palsu atau ditemukannya surat-surat bukti yang bersifat menentukan agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
b) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan isinya agar dapat diketahui (Pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjaun kembali (Pasal 72 ayat (2)).
• Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut yang salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui (Pasal 72 ayat (3)).
• Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanay jawaban tersebut Panitera mengirimkan berkas permohonan peninjaun kembali (berupa Bendel A dan Bendel B) bersama biayanya kepada MA (Pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985). Biaya peninjauan kembali dikirim melalui Bank yang ditunjuk.
• Berkas Bendel B tersebut terdiri dari :
1) Relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali jika putusan itu dijatuhkan di luar hadirnya para pihak atau salah satu pihak.
2) Akta Permohona Peninjauan kembali.
3) Surat permohonan peninjauan kembali dengan dilampiri surat-surat bukti.
4) Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali.
5) Surat kuasa khusus (bila ada).
6) Relaas pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
7) Jawaban surat permohonan peninjauan kembali.
8) Salinan resmi putusan PA (fotocopy yang dilegalisir oleh Panitera).
9) Salinan resmi putusan PTA (fotocopy yang dilegalisir oleh Panitera).
10) Salinan resmi putusan MA (fotocopy yang dilegalisir oleh Panitera).
11) Tanda bukti setor biaya peninjauan kembali dari Bank.
12) Surat-surat lain yang mungkin ada.
• Semua surat-surat tersebut setelah diminutasi, Disusun kemudian dijahit serta disegel dengan cap Pengadilan Agama sebagai Bendel B menjadi arsip di MA.
• Tanggal pemberitahuan permohonan peninjaun kembali (PBT. D. 1), tanggal penerimaan jawaban peninjauan kembali, tanggal dan nomor surat pengiriman berkas jawaban peninjauan kembali, tanggal dan nomor surat pengiriman berkas peninjauan kembali dicatat dalam Register Permohonan peninjauan kembali.
b. Pada tingkat MA
• Panitera MA mencatat permohonan peninjauan kembali tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut tanggal penerimaannya, mebuat catatan singkat tentang isinya dan melaporkan semua itu kepada Ketua MA.
• Ketua MA menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutus permohonan tersebut yang dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.
• MA memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim (Pasal 40 ayat (1) UU No. 14/1985).
• MA memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 70 ayat (2) UU No. 14/1985).
• Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat-menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain dengan MA (Pasal 72 ayat (5) UU No. 14/1985).
• Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 kali (Pasal 66 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menhentikan pelaksanaan putusan (Pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985).
• MA berwenang memerintahkan PA yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau Pengadilan tingkat banding mengadakan pemeriksaan tambahan tau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud (Pasal 73 ayat (1) UU No. 14/1985).
• Pengadilan yang dimaksud setelah melaksanakan perintah MA tersebut segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagai mana dimaksud kepada MA (Pasal 73 ayat (3) UU No. 14/1985).
• Dalam hal MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali, MA membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutus sendiri perkaranya.
• MA menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal MA berpendapat bahwa peromohonan itu tidak beralasan.
• Putusan MA disertai pertimbangan-pertimbangan (Pasal 74 UU No. 14/1985).
• Putusan MA diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 40 UU No. 14/1985).
• MA mengirimkan salinan putusan atas permohonan kembali kepada PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 75 UU No. 14/1985).
c. Kembali kepada tingkat PA
• Panitera PA setelah menerima salinan putusan permohonan peninjauan kembali, mencatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan dan Register Permohonan Peninjaun Kembali.
• Panitera segera menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon dan pihak lawan, selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari setelah diterimanya salinan itu di Kepaniteraan PA (Pasal 75 UU No. 14/1985).
4. Pencabutan Permohonan Peninjauan Kembali
• Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
• Dalam hal dicabut, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diajukan lagi (Pasal 66 ayat (3) UU No. 14/1985).
• Pencabutan permohonan peninjauan kembali dilakukan seperti pencabutan permohonan kasasi.

E. Prorogasi
1. Pengertian Prorogasi
• Prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada Hakim yang Sesungguhnya tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada Hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.
• Pada asasnya setiap perkara harus diajukan kepada Pengadilan tingkat pertama, tetapi dalam hal prorogasi ini maka perkara diajukan langsung kepada Pengadilan Tingkat Banding yang akan bertindak langsung sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir.
• Prorogasi tidak diatur dalam HIR tetapi diatur dalam RV pasal 324-326.
2. Tatacara Prorogasi
• Sengketa yang dapat diajukan pemeriksaan ulang dapat dimntakan pemeriksaan dalam tingkat pertama kepada Pengadilan Banding.
• Para pihak yang bersengketa membuat persetujuan, dengan suatu Akta Otentik untuk mengajukan perkaranya langsung kepada PTA tidak melalui pemeriksaan lebih dahulu oleh PA.
• Calon Penggugat mengajukan perkaranya itu kepada PTA.
• PTA akan bertindak seperti halnya sebagai Pengadilan Tingkat Pertama untuk menerima, memerikasa dan memutus perkara itu.
• Tata cara pemeriksaan dan pembuktian dilakukan sebagaimana pada Pengadilan tingkat pertama.
• Putusan PTA merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus yang terakhir.
• Terhadap putusan prorogasi ini dapat dimintakan kasasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Upaya hukum yaitu upaya untuk mencegah dan memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.
Karena Suatu putusan hakim bisa saja terdapat kekeliruan, oleh karena itu untuk memperbaiki kekeliruan tersebut suatu keputusan dapat diadili ulang.
Upaya hukum biasa:
1. Banding (pengadilan ulang)
Upaya hukum banding disediakan bagi pihak-pihak yang haknya dirugikan atas putusan akhir pengadilan tingkat pertama.
2. Kasasi
Kasasi merupakan pembatalan yang dilakukan oleh mahkmah agung atas putusan atau penetapan pengadilan yang berada dibawahnya dengan alasan putusan tersebut bertentangan dengan hukum.
Mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasidapat membatalkan putusan atau penetapan pengadilan yang berada dibawahnya dimaksudkan putusan atau penetapan pengadilan tingkat kedua (pengadilan tinggi) dilngkungan mahkamah agung.
Upaya hukum luar biasa:
Upaya hukum luar biasa Merupakan upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan atau kekhilafan terhadap suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/pasti (Incrack Van Gewisjde).
1. Penin jauan kembali
Peninjauan kembali dalam pasal 23 (1) UU No 14 Tahun 2004 merupoakan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat melakukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Peninjaun kembali dapat dilakukan atas bsutu putudsan yang telah mem,peroleh kekuatan hukum tetap dan bahkan atas suatu putusan Yang telah dilaksanakan.
















DAFTAR PUSTAKA

Perpus UIN, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, 347.01 Ras u.
Afandi, peradilan agama, strategi dan taktik membela perkara di PA, SETARA PRESS: Malang ,2009
Drs. H.A. Mukti Arto, S.H. Praktek Perkara Perdata, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996
M. Yahya Harahap, S.H. Kedudukan Kewenangan danm Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika: Jakarta, 2001
»»  Baca Selangkapnya..

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

OLEH KAMALUDIN

A. Pengertian
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
1) Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
3) Arti kata:
o Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
o Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);
o Koruptor (orang yang korupsi).
Secara bahasa korupsi adalah kecurangan; manipulasi; penggelapan; penyelewengan .
Dalam Kitab Besar Bahasa Indonesia korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Andi Hamzah mengemukakan korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah .
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
Menurut UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999, Korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga merugikan negara(Pasal 2) .
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP .

B. Unsur-unsur Korupsi
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah:
• Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
• Perbuatan melawan hukum;
• Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
• Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

C. Motif Seseorang Melakukan Korupsi
Pada dasarnya motif /alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi ada dua penyebab yaitu dorongan kebutuhan (need driven) dan dorongan kerakusan (greed driven) .
Masyarakat kita sebenarnya sudah mempraktekkan perilaku korup dari yang besar hingga yang kecil, jenjang tinggi hingga jenjang bawah. Cotohnya kasus korupsi kecil-kecilan yaitu pada saat kita berbelanja dipasar, apakah kita yakin bahwa beras yang kita beli sesuai dengan kwantitas atau kwalitas yang kita minta? sangat jarang para pedagang yang mau jujur dengan pelanggannya, meskipun tidak semuanya berperilaku demikian. Contoh lainnya adalah pegawai yang berpenghasilan minim, untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari melakukan perbuatan tercela (need driven). Namun adakalanya korupsi dilakukan karena adanya desakan untuk memperoleh kenikmatan dan kenyamanan hidup dengan selera tinggi sedangkan daya dukungnya tidak memadai, sehingga korupsi adalah jembatan emas untuk mencapai impiannya (greed driven).
Praktek korupsi berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas yang seharusnya dia laksanakan. Namun jika ditelaah sebenarnya penyebab timbulnya perilaku korup disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu :
a) Perilaku yang bersumber budaya masyarakat
Perilaku korupsi memang sangat berbeda pemahamannya antar budaya masyarakat terutama budaya lain bangsa. Kita ambil contoh adalah budaya masyarakat Jepang yang terbiasa memberikan ”omiyage” atau cendera mata kepada mitra bisnisnya. Atau contoh lain adalah budaya masyarakat Afrika pada umumnya yang terbiasa memberikan reward berupa memberi tambahan hadiah bilamana layanan jasa telah diberikan oleh suatu pihak. Jadi bentuk rasa terimakasih dalam bentuk tip ini adalah sudah menjadi bagian budaya yang melekat di masyarakat yang sangat sulit untuk diubah, dan bilamana ada pihak yang berusaha menghilangkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang menentang nilai budaya masyarakat tersebut.
Namun sebenarnya perilaku korupsi yang sangat meresahkan adalah berakar atau bersumber dari adalah perasaan tamak/rakus (greed driven) daripada sekedar berasal nilai budaya masyarakat. Jadi masyarakat harus mempunyai standar kepatutan dari sebuah figur orang dalam mengampu sebuah jabatan, bilamana figur tersebut mempunyai sesuatu diluar standar kepatutan maka masyarakat perlu bertanya darimana sesuatu miliknya itu berasal.
b) Jenjang diskresi yang dimiliki
Bilamana sebuah diskresi dilakukan dalam sebuah organisasi oleh orang-orang dengan kekuasaan yang relatif besar, diperkenankan mengintepretasikan dan menjabarkan diskresi tersebut dalam kebijakan2, dan ketiadaan akuntabilitas maka dikhawatirkan akan menimbulkan praktek korupsi dari dorongan tamak dalam melaksanakan diskresi tersebut. Di negara yang belum berkembang seringkali para pemimpin politiknya tidak memberikan contoh yang baik dalam melaksanakan kejujuran, kredibilitas, transparansi serta menjaga integritas.
c) Tiadanya transparansi/keterbukaan
Apabila suatu tugas dan fungsi pekerjaan dilaksanakan dengan sifat kerahasiaan yang melekat akan mendorong timbulnya korupsi. Jadi adanya proses keterbukaan dengan lebih memberikan kesempatan kepada elemen masyarakat dan media massa untuk mengakses layanan publik adalah bagian dalam fungsinya menjalankan sebagai kontrol yang akan menekan angka korupsi.
d) Ketiadaan akuntabilitas
Dinegara yang demokratis seharusnya antara pemimpin dan aparatur pelayanan masyarakat seharusnya akuntabel kepada masyarakat yang dilayani. Akuntabel dalam artian dapat menjelaskan atau memberikan argumentasi mengenai pelaksanaan suatu kebijakan atau pelaksanaan keputusan kepada masyarakat yang dilayani. Bilamana akuntabilitas ini tiada, maka korupsi akan meningkat.
e) Ketiadaan lembaga pengawas
Perananan lembaga pengawas ini sangat penting keberadaannya baik adanya lembaga pengawas internal maupun eksternal. Salah satu tugas lembaga pengawas ini adalah melakukan proses investigasi adanya dugaan korupsi berasal dari keluhan masyarakat. Bilamana lembaga semacam ini tidak ada maka para aparatur akan mendapatkan keuntungan dengan lemahnya fungsi kontrol tersebut, ataupun bilamana pelaku korupsinya tertangkap tangan maka proses hukumnya tidak akan membuat jera pelaku korupsi.

D. Klasifikasi Dan Bentuk Korupsi
a. Klasifikasi pengambilan harta orang lain
Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah Swt. melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghasab, pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun. [3] Al-Jassas mengatakan bahwa pengambilan harta orang lain dengan jalan batil ini bisa dalam dua bentuk:
1. Mengambil dengan cara zhalim, pencurian, khianat, dan ghasab (menggunakan hak orang lain tanpa izin).
2. Mengambil atau mendapatkan harta dari pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, seperti dari bunga/riba, hasil penjualan khamar, babi, dan lain-lain.
Dari segi hukum islam korupsi dibagi menjadi beberapa bagian , yaitu:
1) Ghulul (Penggelapan, khianat)
Kata الغلول dalam arti berkhianat dalam harta rampasan perang disebutkan dalam firman Allah dalam surat ali imran ayat 161
Artinya:
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.
Menurut Rawas Qala’’raji dan Hamid Sabiq Qunaibi ghulul berartimengambil sesuatu dengan menyembunikannya dalam hartanya.
Muhammad Bin Salim Bin Ba'asiil Al-Syafi'i menjelaskan bahwa diantara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah al- ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, hal ini termasuk dosa-dosa besar. dalam kitab Az Zawajir dijelaskan bahwa ghulul adalah tindakan mengkhususkan/ memisahkan yang dilakukan oleh seorang tentara. baik ia seorang pemimpin atau bukan prajurit terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa menyerahkan kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima bagian , walaupun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.
Dari definisi diatas, bisa disimpulkan bahwa istilah ghulul diambil dari surat Ali Imran ayat 161 yang pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan. penggelapan atau berlaku curang terhadap harta rampasan perang. akan tetapi dalam perkembangan pemikirannya berikutnya tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti terhadap harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslimin, harta bersama dari suatu kerjasama bisnis, harta negara, harta zakat dll.

2) Riswah (Penyuapan)
Riswah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/ salah atau menyalahkan yang benar.
Diantara definisi riswah, definisi menurut penulis buku Kasyaf Al Qanna ‘An Matn Al-Iqna’, Mansur bin Yunus Idris Al Bahuti, menurut penulis cukup menarik, sebab ia mengemukakan bahwa jika pihak pertama memeberikan sesuatu kepada pihak kedua dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihak kedua dan agar pihak pihak kedua mau melaksanakan kewajibannya maka pemberian semacam ini tidak dianggap sebagai riswah yang dilarang agama.
Dalam sebuah kasus riswah setidaknya pasti melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemeberi الراش)), pihak penerima pemberian tersebut (المرتشي) dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserah terimakan. Akan tetapi dalam kasus riswah tertentu boleh jadi bukannya hanya melibatkan unsur pemeberi, penerima dan barang sebagai obyek riswahnya, melainkan bisa juga melibatkan pihak keempat sebagai broker atau perantara pihak pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima, misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak dimaksud.
3) Ghasab
Secara harfiah, ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dengan terang-terangan. Sedangkan secara istilah, ulama bermacam-macam mendefinisikannya. Mazhab Hanafi mendefinisikan gasab sebagai mengambil harta orang lain yang halal tanpa izin sehingga barang itu berpindah tangan. Mazhab Maliki mendefinisikan gasab sebagai mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja, tetapi tidak dalam arti merampok. Sementara mazhab Syafii dan Hanbali memaknai gasab sebagai penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Secara “terang-terangan” menunjukkan perbedaan gasab dengan mencuri. Mencuri dalam arti gasab tidak hanya barang tapi juga manfaat barangnya, termasuk di dalamnya meminta dan meminjam tanpa izin pemilik aslinya, sekalipun dikembalikan.
Sedangkan dalam fikih Ahlulbait, gasab tetap dihukumi sebagai dosa plus perbuatan salatnya sendiri tidak sah. Sedemikian ketatnya hingga jika kita salat tetapi ada sehelai benang pun yang ada ditubuh kita diperoleh dengan cara batil, maka salat pun tidak sah. Sayidina Ali as. berkata kepada Kumail, “Wahai Kumail, lihatlah di mana dan pada apa kamu salat. Jika itu didapatkan bukan dengan cara yang benar maka tidak diterima salatnya.” (Fiqh Al-Imâm Ja’far) .
4) Sariqah
Sariqah adalah mengambil harta seseotrang secara sembunyi sembunyi dan dengan tipu daya. sedangkan definisi sariqah dalam syari’at islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil harta yang dijaga dan dilakukan oleh seorang mukalaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsure subhat, dan jika barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak bisa dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.
Jadi sariqah adalah mengaambil barang atau harta orang lain dengan cara sembuyi sembunyi dari tempat penyimpanannnya yang biasa digunakan untuk mneyimpan barang atau harta kekayaan tersebut. Dalam hal ini, Abdul Qadir audah menjelaskan secara detail tentang pencurian besar dan pencurian kecil, bahwa pada pencurian kecil proses pencurian tidak diketahui oleh korban dan dilakukan tanpa seizinnya, sebab memang dalam pencurian kecil harus memenuhi dua unsur ini secara bersamaan, (yaitu korban tidak mengetahui dan korban tidak mengizinkan). Sedangkan pada pencurian besar proses pengambilan harta dilakukan dengan diketahui oleh pihak korban, tetapi tidak mengizinkan hal iti terjadi, sehingga terdapat unsur kekerasan .
5) Hirabah
Hirabah adalah mereka yang melakukan penyerangan dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka ditempat-tempat terbuka secara terang-terangan.
Demikian sangat jelas perbedaan antara perampokan dan pencurian, yang terletak pada unsur-unsur mendasarnya, yaitu kalau dalam pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi sedangkan dalam hirabah prosesnya dilakukan secara terang-terangan dan kasar.
b. Bentuk
Baharudin Lopa membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
• Korupsi yang terselubung, yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
• Korupsi yang bermotif ganda, yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.
Dari berbagai pola dan bentuk korupsi sedikitnya terdapat 7 (tujuh) tipologi korupsi, yaitu :
Pertama, korupsi transaksional. Korupsi yang bertolak dari sikap bisnis dalam transaksi sosial, yang melibatkan dua pihak yang sama aktif mengupayakan terjalinnya korupsi, karena kedua-duanya mendapatkan keuntungan yang sama.
Kedua, korupsi ekstortif yang bersifat memeras dan menghisap, yaitu jenis korupsi atau suap yang dilakukan oleh orang pertama kepada pihak kedua yang memiliki kekuasaan untuk menghindari hambatan usaha dari pihak kedua.
Ketiga, tipologi korupsi yang bersifat ontogetik, korupsi jenis ini hanya melibatkan orang-orang yang bersangkutan dan memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri.
Keempat, korupsi defensif, yaitu ketika seseorang mengeluarkan uang suap untuk membela dirinya.
Kelima, korupsi yang bersifat investasi, misalnya dengan memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nanti mendapatkan “uang terima kasih” atas pelayanan yang baik itu.
Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme yaitu penunjukan orang-orang terdekatnya untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
Ketujuh, korupsi suportif, yaitu korupsi yang secara tidak langsung melibatkan uang jasa atau pemberian apapun. Misalnya membiarkan berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dengan situasi yang korup.
Adapun bentuk-bentuk korupsi menurut J. Soewartojo adalah sebagai berikut :
 Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai pemerasan dan penyuapan.
 Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek dan sebagainya.
 Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh pemda, yaitu pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat keputusan saja.
 Penyuapan, yaitu seorang penguasa yang menawarkan uang atau jasa kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
 Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut uang atau jasa lain sebagai pengganti atau timbal balik atas jasa yang diberikan.
 Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya, dan mencuri harta rakyat secara langsung atau tidak langsung.
 Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga berhak bila dilakuka secara adil.

E. Dasar Hukum
• QS al-Baqarah 188 (ghasab)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
• QS al Kahfi 79 (ghasab)
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”
• QS ali Imron 161 (ghulul)
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
• QS al Maidah 33 (hirabah)
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
• QS al Maidah 38 (sariqah)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Semua bentuk-bentuk pengambilan hak orang lain di atas jelas-jelas telah dilarang dan diwanti-wanti oleh Rasulullah ketika haji wada’ dengan sabda Beliau: Artinya: Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, dan kehormatan-kehormatanmu adalah haram bagimu sebagaimana haramnya hari kalian ini di dalam bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.
Dasar hukum selanjutnya adalah tentang suap (risywah) yang terdapat di dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah. Pengertian suap menurut Ibnu al-Qayyim adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu atau pemberian untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batil. Ayat di atas (QS al-Baqarah 188) mengaitkan kata suap dengan kata hukum. Bahwa penyuapan adalah dilakukan demi mengharapkan kemenangan dalam perkara yang diinginkan seseorang, atau ingin memudahkan seseorang dalam menguasai hak atas sesuatu.
F. Sanksi Korupsi
1. Sanksi bagi Pelaku Ghulul
Sanksi bagi pelaku ghulul tampaknya bersifat moral ghulul mirip dengan jarimah riddah tetapi untuk dua jenis jarimah ini walaupun dalam ayat Al Qur'an tidak disebutkan teknisi eksekusi ataupun jumlahnya, tetapi dalam hadis hadis nabi secara tegas disebutkan teknis dan sanksi keduanya. hal ini membedakan antara ghulul dengan jumlah jarimah kisas dan hudud, sehingga ghulul masuk dalam kategori jarimah ta'zir. Sanksi moral pelaku ghulul berupa akan dipermalukan dihadapan Allah kelak pada hari kiamat, tampaknya sangat sesuai dengan jenis sanksi moral yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW. Bentuk sanksi moral yang telah terjadi dalam hadis diterangkan bahwa nabi Muhammad SAW tidak menshalati jenazah pelaku ghulul.
Sementara itu terdapat dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud , Ahmad Baihaqi dan abu y’la yang menyatakan bahwa rasulullah pernah bersabda: “ barang siapa kamu dapatkan dalam harta bendanya barang hasil ghulul (penggelapan) maka bakarlah harta benda itudan pukullah dia. Namun hadis ini dinilai oleh seluruh ulama sebagai hadis dha’if.
2. Sanksi hukum pelaku ghasab
Dari pengertian dan dalil dalil larangan ghasab, bisa diketahui bahwa tidak ada satunashpun yang menjelaskan tentang bentuk, jenis jumlah dan sanksi hukum bagi para pelaku gasab. Oleh karena itu gasab termasuk dalam zarimah takzir. Hanya saja untuk jarimah atau tindak pidana gasab ada semacam sanksi-sanksi tertentu yang apabila dihubungkan denagn tradisi kategorisasi hukum Indonesia sanksi bagi pelaku ghasab masuk kedalam jenis sanksi perdata bukan sanksi pidana.
Secara agak detail imam al nawawi mwngklasifikasikan jenis sanksi bagi pelaku gasab ini dikaitkan dengan kondisi barang sebagai objek gasab menjadi tiga kategori, yaitu,
1) Sanksi pelaku gasab bila barang hasil ghasabnya masih utuh
Pelku gasab terhadap harta yang masih utuh seperti kondisi semula berupa kewajiban mengembalikan harta yang digasab tersebut. Teknis pengembaliannya dilakuakn oleh pemilik untuk mendesak pelaku. Tetapi kalau pemilik merasa tidak mampu melakukan nya maka petugas berwenang yang mengambil alih tugas ini dan memebrikan hukuman takzir/ta’dib terhadap pelaku.
Kalau barangnya bersifat dan bisa memebrikan income bagi pemilik, pelaku juga harus dituntut untuk memperhitungkan kerugian korban akibat tindakan gasab pelaku. Disini aparat berkewajiban membantu kalau perlu dengan memberlakukan takzir bagi para pelaku.
2) Sanksi pelaku ghasab bila barang gasabannya telah lenyap
Dalam hal sanksi pelaku gasab yang barangnyatelah lenyap ini terdapat dua macam, yaitu; barang yang jenis, bentuk dan ukurannya pasti dan jelas, seperti biji-bijian, minyak, uang maka pelaku wajib mengembalikan barang ttersebut secara sama, baik dari sisi jenis, macam sifat dan ukurannya.
Barang yang jenis bentuk dan ukurannya berbeda-beda , seperti kain. Dalam hal ini pelaku wajib mengganti uang seharga barang yang digasab tersebut.
3) Sanksi pelaku gasab bila barang hasil gasabannya berkurang.
Bila barang hasil gasab yang dilakukan pelaku telah berkurang maka untuk menentukan jenis sanksinya harus diklasifikasikan menjadi barang berupa makhluk hidup dan benda mati.
Dalam hal pelkau manggasab makhluk hidup seperti binatang maka pelaku berkewajiban mengembalikannya, dismping pelaku juga wajib mengembalikan kekurangan tersebut dengan nilai nominal dalam bentuk usng sebagai bentuk ganti rugi.
Jika benda yang digasab berupa benda mati dan berkurang cacat atau robek atau piring atau perkakas lain yang digasab dan akhirnya retak maka pelaku wajib mengembalikan yang masih utuh dan harus memeprhitungkan kekurangan-kekurangan tersebut utntuk diganti .

Kesimpulan
korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai dengan pemahaman dari Al-Quran, Hadits dan juga Fiqih Islam. Pada hakekatnya defenisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan jalan melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum tersebut adalah bisa berupa ghulul, pencurian (sariqah), perampokan (hirabah), menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghasab), suap (risywah). Perbuatan itu semua dihukumi ta’zir.
Menurut penulis, bila korupsi yang dimaksud adalah korupsi yang merugikan keuangan negara, menyengsarakan rakyat dan menyebabkan kerusakan yang besar maka sanksi korupsi tersebut pantas dihukumi sanksi hirabah yang sangat berat, bahkan sampai mati.
Menurut UU korupsi pun bila ornag yang korupsi misalnya disaat bencana alam, maka pelaku dihukum mati.







Referensi
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam
http://aryudhaprakoso.blogspot.com
http://pengelolaankeuangan.wordpress.com
http://santriuniversitas.blogspot.com
http://universityofachehnese.blogspot.com/2011/06/korupsi-dalam-perspektif-hukum-pidana.html (KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM Oleh Prof. Dr. Fazzan, MA)
Omih maryamah, Korupsi, skripsi, HPI
UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999
Wiki.Answers.com
»»  Baca Selangkapnya..